Daeng Muhammad Ardiwinata merupakan tokoh militer anak bungsu dari Daeng Kanduruan Ardiwinata seorang Nasionalis, agamis dan sastrawan Sunda pendiri Paguyuban Pasundan. Setelah Batalyon IV PETA di Cimahi dibubarkan karena Jepang menyerah, mantan Shodancho Daeng lantas mengumpulkan bekas anak buahnya dan bergabung kedalam BKR. Sesuai dengan perkembangannya BKR Cimahi berubah menjadi Tentra Keamanan Rakyat (TKR). TKR Kompi Daeng semula masuk jajaran Batalyon IV Momon Resimen 9 Gandawijaya. Selanjutnya, Batalyon IV Momon menjadi Detasemen 9 Momon. Kompi I/ daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum samapai dengan Fokerweg (sekarang Jalan garuda) Bandung.
Kompi Daeng diikuti banyak “anak kolong” sebutan anak-anak serdadu Belanda KNIL sebelum Perang Dunia II meletus, julukan anak kolong kemudian menjadi populer untuk sebutan pasukan pejuang dari Cimahi. Kompi Daeng aktif dalam pertempuran, pencegatan tentara sekutu, bersama Hizbullah menyerang pabrik senjata ACW cabang pabrik PINDAD di Cibabat Cimahi yang dikuasai Jepang, sampai pertempuran di alun-alun Cimahi merebut truk yang diisi tentara sekutu, dalam satu pertempuran, Daeng kehilangan seorang dokter Resimen, Dokter Dustira.
Setelah kemerdekaan dipertahankan, karier militernya pun menggantung dengan pangkat terakhir Kolonel. Pada 1954, Daeng digandeng Kolonel AH Nasution dan Kolonel Gatot Subroto mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Daeng diangkat sebagai Ketua IPKI Jawa Barat. Pada Pemilu 1955, Daeng terpilih sebagai anggota DPR-RI. Lima tahun kemudian, dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pada 1967-1970, Daeng kemudian menjadi Direktur PPN Dwikora IV Perkebunan Teh di Subang, sekaligus memantau pergerakan PKI yang menjadikan Subang sebagai basis pergerakannya.
Selepas jabatan itu, Daeng mundur dari pemerintahan dan militer. Daeng menikah dengan Siti Rukayah dikaruniai 5 anak dan 11 cucu. Karier militer yang dijalani dinilainya sebagai pengabdian. Daeng pun tak ngambil gaji dan pensiun dari militer. Dia hanya mengambil gaji saat menjadi anggota DPR. Pada 1996, Daeng mendapat piagam dan mendali penghargaan Angkatan 45 saat peringatan Hari Kemerdekaan ke 50 dari Gubernur Jabar HR Nuriana.
Daeng mengabadikan sisa hidupnya bersama Yayasan Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang didirikannya. Daeng meninggal pada 15 April 2000 ketika berusi 77 tahun. Dia menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, memilih untuk dikebumikan berdampingan dengan istrinya di pemakaman keluarga di Kampung Juntigirang Desa Banyusari Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung. Makam Daeng dipilih menjadi titik pemancangan bambu runcing “Pejuang 45” saat peringatan Hari Pahlawan tahun 2000. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Cihanjuang yang merupakan pengakuan kepahlawanan Daeng dan juga menjadi penghargaan atas jasa-jasanya berjuang di Cimahi.